Berkat Setelah Krisis

Perikop ini berjudul “Ayub mencabut perkataannya dan menyesalkan diri,”  menceritakan bagaimana Ayub keluar dari krisis kehidupan dengan menjadi lebih dari pemenang. Selalu ada berkat setelah krisis. Karena itu, hati kita harus tertuju pada Tuhan, mata kita harus menuju ke depan. Percayalah bahwa ada rancangan kebaikan yang menanti setelah kita selesai melewati krisis. Jika Anda memilih untuk menjadi orang yang percaya kepada Tuhan, jangan ragu, bimbang, ataupun berpikiran negatif. Situasi di sekeliling kita boleh terpuruk, tapi hati kita tidak boleh ikut terpuruk.

1. Pengenalan akan Allah 
Ayub 42 : 1 2 Maka jawab Ayub kepada TUHAN: "Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal. 

“ Aku tahu sekarang, bahwa Engkau …..” kalimat ini menunjukkan bahwa Ayub akhirnya mengenali Allah dan merendahkan dirinya. Ketika kita mengalami krisis kehidupan teori yang kita pegang akan ditantang. Jika iman kita hanya sebatas teori, kita akan goyah dalam krisis. Knowing God ≠ Knowing about God , mengenal artinya lebih dari sekedar tahu, ada keintiman secara pribadi di dalam hubungan tersebut.  

“……...sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal “ kalimat ini merupakan pernyataan pribadi Ayub, bahwa Ayub telah mengenal Allah. Meskipun sebenarnya Ayub masih memiliki banyak pertanyaan dalam hidupnya, tetapi akhirnya memilih untuk puas dengan mengenal Allah.  

Ketika anda sedang bingung, janganlah berpikir melebihi takaran iman yang Tuhan percayakan. Belajar untuk menguasai diri sebelum hati kita menjadi liar. Karena Tuhan tidak bisa dipahami oleh logika kita, jalan-Nya lebih tinggi dari pikiran kita.  

2. Tenang dan berserah pada Allah 
Ayub 42 : 3 Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui. 

"Kepo" (atau keingintahuan) hati harus ada batasnya. Bukan berarti kita tidak boleh berpikir menggunakan akal pikiran kita, tetapi pikiran kita harus tetap dituntun oleh kebenaran, oleh Roh Kudus. Bukan berarti tidak menggunakan akal logika, tapi diperlukan pembaharuan budi. 

Terkadang kita perlu puas dan tenang dalam ketidaktahuan. Iman berbicara ketika kita tidak tahu apa-apa tetapi tetap percaya. Setelah kita berupaya maksimal, berserahlah pada Tuhan. Ketidaktahuan yang kita miliki mengajarkan kita untuk rendah hati di hadapan Allah.   

3. Mendengar dengan hati 
Ayub 42 : 4 Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku. 

Iman timbul dari pendengaran, tetapi tidak semua orang yang mendengar firman imannya bertumbuh. Dikatakan disini "dengarlah" artinya mendengar dengan hati. Mendengar seksama, tidak asal masuk telinga kiri keluar telinga kanan. 

Mendengarlah dengan teliti, jangan sampai kita salah tangkap dengan firman Allah. Terlebih di masa krisis telinga rohani kita menjadi lebih tuli karena hati kita gundah gulana. Tuhan menegur Ayub bukan karena Ayub bersalah, tetapi karena Ayub kurang sabar untuk mendengar dengan seksama.  

4. Hidup dengan mengaplikasikan firman  
Ayub 42 : 5 Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. 

Pertumbuhan penuh dalam pengenalan akan Tuhan terjadi ketika Firman Tuhan diaplikasikan dalam hidup sehari-hari. Jangan ikut Tuhan hanya dengan pengetahuan, ikuti Tuhan dengan perbuatan. 

Krisis akan membuat kita memilih untuk mengikis kedagingan atau justru membiarkan kedagingan kita menguasai. Ayub memilih untuk mengikis kedagingannya di dalam krisis, sehingga Ayub bisa mengalami sebuah kebangkitan rohani yang dahsyat. Ayub belajar melihat ujung krisis adalah berkat; bukan jatuh selama-lamanya. Pilihan ada di tangan Anda, pilihlah sebagaimana Ayub menghadapi krisis dalam hidupnya. 

5. Merendahkan hati di hadapan Allah 
Ayub 42 : 6  Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku  duduk dalam debu dan abu.” 

Ayub menyesal dan duduk di dalam debu dan abu, bukan karena dia berbuat kesalahan. Ayub adalah orang yang saleh sepanjang hidupnya. Kesalehan dan kebaikan kita tidak sebanding dengan kesucian Allah. Jika bukan dosa, lalu apa yang Ayub sesali?  

-  Self-righteousness / Merasa diri benar 
Jangan merasa diri kita benar. Jangan membuat kesimpulan tentang diri sendiri maupun orang lain sebelum kita cukup mendengarkan dari Tuhan. Dan orang yang mendengarkan dari Tuhan hatinya tidak akan menghakimi dan tidak akan kecewa pada Tuhan maupun kehidupan; justru akan melihat pengharapan serta jalan keluar. 

- Pride of heart / Apa yang kita banggakan
Kesombongan atau keangkuhan; Ayub merasa angkuh karena merasa berhak. Kita tidak bisa kita membanggakan sesuatu di hadapan Tuhan. Rendahkan diri di hadapan Tuhan. Biar terjadilah pada kita sesuai kehendak Tuhan. Ketika hati berserah, Tuhan akan angkat kita. 

Disarikan dari khotbah Ps. Philip Mantofa, Ibadah Umum GMS Surabaya Barat, 7 Juni 2020
https://youtu.be/fB-7tpYhN9I

Situasi di sekeliling kita boleh terpuruk, tapi hati kita tidak boleh ikut terpuruk. Perahu kita boleh tenggelam, tetapi selama kita masih memiliki dua kaki berlandaskan iman, kita bisa berjalan di atas air bersama Tuhan.